Membaca sebagai Jeda dari Riuhnya Dunia: Sebuah Refleksi dan Catatan atas Buku Terbaik 2022

Di bulan Juli saya sempat kelabakan. Menurut catatan Goodreads, I was 3 books behind schedule. Ini bikin saya bertanya-tanya, kok bisa? Apakah saya mengalami reading slump? Apakah saya memilih buku yang tidak menarik? Atau apakah di waktu luang, saya lebih memilih kegiatan lain selain membaca?

Pada saat yang bersamaan, saya jadi memikirkan kembali tujuan saya membaca dan menetapkan target baca. Apakah untuk gaya-gayaan? Menantang diri sendiri? Berlomba dengan sesama pembaca? Atau apa?

Jawabannya, kurang lebih:

Entah ini hanya pembenaran atau bukan. Tetapi saya sampai pada sebuah nosi bahwa jumlah target baca saya diseting untuk memastikan work life balance. Kerja keras sepanjang minggu, baca buku ketika wiken. Teorinya seperti itu. Lalu ketika saya mengalami 3 books behind schedule, artinya saya terlalu banyak bekerja hingga tak sempat membaca buku. This is not good. Saya harus kembali ke jalur yang benar: kerja seoptimalnya, membaca senikmatnya.

Selain itu, dengan pekerjaan yang datang silih berganti dan lalu lintas informasi yang serba cepat, saya menganggap kegiatan membaca sebagai jeda. Sama dengan bengong atau leyeh-leyeh tanpa melakukan apa pun. Membaca, menikmati setiap kalimat tanpa skip punya nuansa romantisme tersendiri. Seperti ingin berkata, “Silakan kalian jungkir balik melakukan hal-hal produktif, saat ini saya cuma mau bergerak pelan dan menikmati setiap detik yang saya punya.”

Baca juga tulisan ini.

*

Well, dari sekian banyak buku yang saya baca, tentu saja ada yang tidak worth it dibaca dengan serius dan pelan-pelan. Tidak perlu fokus ke yang itu, ya. Mendingan kita fokus ke daftar buku yang memang menyenangkan dan bermanfaat buat saya kita.

Saya membagi buku terbaik tahun 2022 menjadi dua kategori; best romance alias romansa terbaik dan faith in humanity, restored alias menumbuhkan sisi kemanusiaan.

1. Best Romance

Senang sekali akhirnya membaca Gadis Jeruk. Sudah lama sekali buku ini masuk keinginan-baca dan akhirnya kesampaian di tahun 2022. Surprisingly, Gadis Jeruk dan Gadis Kretek punya premis yang mirip. Sama-sama tokoh laki-laki yang di jelang kematiannya, mengingat lagi sebuah era ketika ia jatuh cinta di masa lalu.

Untuk Postscript, sempat kaget karena saya baru tahu kalau PS. I Love You ada sekuelnya! Begitu menemukannya di toko buku di bandara, saya langsung angkut ke kasir. Dan itu bisa dibilang keputusan terbaik tahun itu. Postcript berhasil bikin saya mewek dan sempat kena book hangover. Agak lama baru saya rela untuk baca buku lagi dan sejenak melupakan kisah Holly di hidup lanjutannya.

Tales from Shakespeare yang saya baca yaitu versi retold for children, jadi beneran dibuat sangat sederhana. Satu boxset berisi 14 buku dan masing-masing buku sangat tipis (rata-rata 45 halaman) dengan ukuran font yang cukup besar. Namun, dengan gaya bercerita yang disederhanakan pun, saya bisa merasakan betapa rumitnya kisah cinta yang bangun oleh Shakespeare. Bahkan dari empat belas cerita tersebut, susah sekali menentukan satu yang paling bagus. Setiap cerita punya kerumitan dan keindahannya sendiri-sendiri. Salut, sih. Baru sekarang paham alasan orang-orang suka karya beliau dan sudah saatnya juga saya bilang, “Shakespeare gila banget (kerennya).”

2. Faith in Humanity, Restored

Tahun 2022 terdiri dari beberapa re-read. Dua di antaranya yaitu Orang Asing serta Iblis dan Miss Prym. Saya lupa trigger teknisnya (entah baca artikel, nonton film, entah yang lain), tapi saya ingat akhirnya sama memutuskan untuk re-read yaitu karena ingin menemukan makna lebih dari buku-buku yang saya baca. Artinya, dari sekian banyak buku yang saya baca sepanjang hidup, rasanya ingin sekali memiliki beberapa judul yang benar-benar saya suka dan saya paham dan saya sebut judulnya dengan bangga ketika ada yang bertanya tentang buku favorit. Syukurnya, kedua buku di atas jelas masuk ke dalam kategori tersebut. All time favorite.

A Man Called Ove dan Silence punya nuansa yang sama yaitu nuansa book-to-movie adaptation. Saya suka sekali dengan film Silence sehingga sejak menonton filmnya, saya sudah ingin membaca bukunya. Sayangnya (atau syukurnya?) baru kesampaian sekarang. Book to movie adaptation yang super berhasil. Kedua media cerita tersebut memberi kenikmatan yang berbeda namun sama. Do you know what I mean?

Sebaliknya, saya baca A Man Called Ove dengan kelabakan karena tak lama lagi filmnya akan tayang di bioskop Indonesia. Mumpung masih ada waktu, saya upayakan untuk sempat membaca bukunya dulu sebelum menonton versi filmnya. Membaca Ove was a life-changing experience buat saya. Karakter Ove yang ingin sendirian, tapi ‘diganggu’ tetangganya yang kekeuh mau bikin Ove lebih ceria. Kenapa? Jiwa bitter saya kesal sekali dengan tetangga yang sok ikut campur, tapi kemudian saya harus mengalah pada kenyataan bahwa dunia kita memang butuh lebih banyak rasa empati yang dibangun dari cerita-cerita yang menghangatkan hati seperti itu. Akur.

Ngomong-ngomong soal bacaan yang meninggalkan jejak lebih banyak dan lebih lama di hati, membuat daftar best-of seperti ini saya anggap sebagai upaya untuk mengingat pengalaman menyenangkan ketika membaca buku-buku tertentu. Selain itu, saya juga terbuka akan masukan soal best-of dari siapa pun. Jadi, kalau kalian punya tulisan/catatan soal buku yang kalian suka, jangan lupa cantumkan tautannya di kolom komentar. Saya akan senang berkunjung.

Leave a comment